BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin
kuman Clostridium tetani, bermanifestasi sebagai kejang otot paroksismal,
diikuti kekakuan otot seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu tampak pada
otot masseter dan otot-otot rangka.
Tetanus adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
toksin kuman clostiridium tetani yang dimanefestasikan dengan kejang otot
secara proksimal dan diikuti kekakuan seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini
selalu nampak pada otot masester dan otot rangka.Tetanus adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh toksin kuman clostiridium tetani yang
dimanefestasikan dengan kejang otot secara proksimal dan diikuti kekakuan
seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu nampak pada otot masester dan
otot rangka
Clostiridium tetani adalah kuman yang berbentuk batang
seperti penabuh genderang berspora, golongan gram positif, hidup anaerob. Kuman
ini mengeluarkan toksin yang bersifat neurotoksik (tetanus spasmin), yang
mula-mula akan menyebabkan kejang otot dan saraf perifer setempat. Timbulnya
teteanus ini terutama oleh clostiridium tetani yang didukung oleh adanya luka
yang dalam dengan perawatan yang salah. Selain diluar tubuh manusia, tersebar
luas ditanah. Juga terdapat di tempat yang kotor, besi berkarat samapai pada
tusuk sate bekas. Basil ini bila kondisinya baik (di dalam tubuh manusia) akan
mengeluarkan toksin. Toksin ini dapat menghancurkan sel darah merah, merusak
leukosit, dan merupakan tetanospamin, yaitu toksin yang neutropik yang dapat
menyebabkan ketegangan dan spasme otot.
1.2 Tujuan
1.
Tujuan Umum
Mahasiswa mampu
membuat asuhan keperawatan pada klien dengan ganguan tetanus
2.
Tujuan Khusus
1.
Mahasiswa mampu membuat pengkajian
pada klien dengan gangguan tetanus.
2.
Mahasiswa mampu menegakkan diagnose
pada klien dengan gangguan tetanus.
3.
Mahasiswa mampu mengimplementasi
pada klien dengan gangguan tetanus.
4.
Mahasiswa mampu mengevaluasi pada
klien dengan gangguan tetanus.
1.3 Manfaat
1.
Bagi Mahasiswa
Agar mahasiswa mengetahui penyakit
tetanus yang disebabkan oleh organisme anaerob Clostiridium tatani yang
berpoliferasi disebabkan keadaan antara
lain adalah luka tusuk dalam dan kotor serta belum terimunisasi, luka bakar
karena lalu lintas, luka bakar, luka tembak, gigitan hewan/manusia, gigi
berlubang, lesi pada mata, infeksi telinga, perawatan luka/tali pusar yang
tidak baik. Sehingga perlu untuk menjaga supaya infeksi yang ada di bagian
tubuh tersebut tidak berlanjut menyebabkan tetanus.Dan juga dapat dicegah dengan membersihkan luka dengan H2O23%.Jika
tidak ditangani secara cepat dapat menjadi kematian.
2.
Bagi Masyarakat
Agar masyarakat mengetahui bagaimana
proses terjadinya penyakit tetanus, dan masyarakat dapat mencegah terjadinya
tetanus dengan mencegah terjadinya luka dengan infeksi piogenik dimana bakteri
piogenik mengosumsi eksogen pada luka sehingga suasana menjadi anaerob yang
pentingbagi tumbuhannya basil tetanus.
3.
Bagi insitusi
Agar makalah ini menjadi refrensi
untuk dapat menambah wawasan tentang bahayanya penyakit tetanus.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 LAPORAN PENDAHULUAN
2.1.1 Definisi Tetanus
Tetanus
adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan
spasme, yang disebabkan oleh Clostridium tetani. Terdapat beberapa bentuk klinis
tetanus termasuk di dalamnya tetanus neonatrum, tetanus generalist dan gangguan
neurologis lokal.
2.1.2
Etiologi
Clostridium tetani merupakan basil
berbentuk batang yang bersipat anaerob, membentuk sepora (tahan panas), gram
positif, mengeluarkan eksotoksin yang bersipat neotoksin ( yang efeknya
mengurangi aktivitas kendali SSP), patogenesis bersimbiosis dengan
mikroorganisme piogenik (pyogenic).
Basil
ini banyak ditemukan pada kotoran kuda, usus kuda, dan tanah yang di pupuk
kotoran kuda. Penyakit tetanus banyak terdapat pada luka dalam, luka tusuk,
luka dengan jaringan mati ( cprpus
alienum ) karena merupakan kondisi yang baik untuk proliferasi kuman
anaerob. Luka dengan infeksi piogenik dimana bakteri piogenik mengosumsi
eksogen pada luka sehingga suasana menjadi
anaerob yang penting bagi tumbuhannya basil tetanus.
2.1.3 Patofisiologi dari Tetanus
Biasanya penyakit ini terjadi setelah luka tusuk yang dalam misalnya luka yang disebabkan tertusuk paku, pecahan kaca, kaleng atau luka
tembak, karena luka tersebut menimbulkan keadaan anaerob yang ideal. Selain itu
luka laserasi yang kotor dan pada bayi dapat melalui tali pusat luka bakar dan
patah tulang yang terbuka juga akan mengakibatkan keadaan anaerob yang ideal
untuk pertumbuhan clostridium tetani.
Tetanus terjadi sesudah pemasukan spora yang sedang tumbuh, memperbanyak
diri dan mneghasilkan toksin tetanus pada potensial oksidasi-reduksi rendah
(Eh) tempat jejas yang terinfeksi. Plasmid membawa gena toksin.Toksin yang
dilepas bersama sel bakteri sel vegetative yang mati dan selanjutnya
lisis.Toksin tetanus (dan toksin batolinium) di gabung oleh ikatan disulfit.
Toksin tetanus melekat pada sambungan neuromuscular dan kemudian diendositosis
oleh saraf motoris,sesudah ia mengalami ia mengalami pengangkutan akson
retrograt kesitoplasminmotoneuron-alfa. Toksin keluar motoneuron dalam medulla
spinalis dan selanjutnya masuk interneuron penghambat spinal. Dimana toksi ini
menghalangi pelepasan neurotransmitter .toksin tetanus dengan demikian
meblokade hambatan normal otot antagonis yang merupakan dasar gerakan yang
disengaja yang di koordinasi, akibatnya otot yang terkena mempertahankan kontraksi
maksimalnya, system saraf otonom juga dibuat tidak stabil pada tetanus.
Spora yang masuk dan berada
dalam lingkungan anaerobic berubah menjadi bentuk vegetatif dan berkembang biak
sambil menghasilkan toxin. Dalam jaringan yang anaerobic ini terdapat penurunan
potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya tekanan oxigen jaringan akibat
adanya nanah, nekrosis jaringan, garam kalsium yang dapat diionisasi.Secara
intra axonal toxin disalurkan ke sel saraf (cel body) yang memakan waktu sesuai
dengan panjang axonnya dan aktifitas serabutnya. Belum terdapat perubahan
elektrik dan fungsi sel saraf walaupun toksin telah terkumpul dalam sel. Dalam
sumsum belakang toksin menjalar dari sel saraf lower motorneuron ke lekuk
sinaps dan diteruskan ke ujung presinaps dari spinal inhibitory neurin. Pada
daerah inilah toksin menimbulkan gangguan pada inhibitory transmitter dan
menimbulkan kekakuan.Masa inkubasi 2 hari sampai 2 bulan dan rata-rata 10 hari.
Suasana yang memungkinkan organisme
anaerob Clostiridium tetani
berpoliferasi disebabkan keadaan antara lain : luka tusuk dalam dan kotor
serta belum terimunisasi, luka karena lalu lintas, luka bakar, luka tembak,
gigitan hewan/manusia, gigi berlubang, lesi pada mata, infeksi telinga,
tonsil, perawatan luka/tali pusar yang tidak baik.
|
Clostiridium
tetani mengeluarkan toksin, toksin
diabsorpsi pada ujung saraf motorik dan melalui sumbu silindrik ke SSP
|
Dari
susunan limfatik ke sirkulasi darah arteri dan masuk ke SSP
|
Toksin
bersifat neurotoksik/tetanospasmin, tatanulisin, menghancrkan sel darah
merah , merusak leukosit
|
Kesulitan membuka mulut (tismus),
kaku kuduk (epistotonus), kaku dinding perut (perut kanan), dan belakang
tulang belakang
|
Kejang tonik umum, kejang rangsang (terhadap
visual, suara, dan taktil), kejang spontan, kejang pada abdomen, dan
retensi urine
|
Sulit
menelan/menyusui
|
Perubahan
Fisiologis intrakranial
|
Penekanan
area fokal kortikal
|
Intake
nutrisi tidak adekuat
|
3. Perubahan
Nutrisi kurang dari kebutuhan
|
Perubahan
mobilitas fisik
|
Penurunan
kemampuan batuk
|
6. Gangguan
mobilitas fisik
|
1. Bersihan jalan
napas tidak efektif
|
Peningkatan permeabilitas darah /
otak.
|
Proses inflamasi di jaringan otak
(peningkatan suhu tubuh), perubahan tingkat kesadaran, perubahan
frekuensi nadi
|
Peningkatan sekret dan penurunan
kemampuan batuk
|
2. Peningkatan Suhu
Tubuh
|
Penurunan
tingkat kesadaran, penurunan perfusi jaringan otak
|
Koma
|
7. Kecemasan
|
4. resiko tinggi kejang
berulang
|
5 resiko tinggi trauma/cidera
|
Sumber :
Patofisiologi tetanus ke masalah perawatan (dimodifikasi dari berbagai sumber)
2.1.6
Manifestasi Klinis
a.
Masa
inkubasi clostridium tetani adalah 4-21 hari. Semakin lama masa inkubasi, maka
prognosisnya semakin baik. Masa inkubasi tergantung dari jumlah bakteri,
Virulensi, dan jarak tempat masuknya kuman (portd’entre) dengan SSP. Semakin
dekat luka dengan SSP maka prognosisnya akan semakin serius dan semakin jelek.
Misalnya, luka di telapak kaki dan leher bila sama-sama terserang basil
tetanus, yang lebih baik prognosisnya adalah luka yang di kaki.
b.
Timbulnya
gejala biasanya mendadak, di dahului dengan ketegangan otot terutama pada
rahang dan leher.
c.
Sulit
membuka mulut (trismus).
d.
Kaku
duduk.
e.
Badan
kaku dengan epistotonus, tungkai dalam mengalami ekstensi, lengan kuku, dan
mengepal.
f.
Kejang
tonik.
g.
Kesadaran
biasanya tetap baik.
h.
Asfisia
dan sianosis akibat kontraksi otot, retensi urine bahkan dapat menjadi fraktur kolumna
vertebralis (pada anak) akibat kontraksi otot yang sangat kuat.
i.
Demam
ringan (biasanya pada stadium akhir).
2.1.7 Pemeriksaan diagnostic
a. Pemeriksaan Laboratorium : leukositosis ringan,
peninggian tekanan cairan otak, deteksi kuman sulit.
2.1.8 Komplikasi
Komplikasi
tetanus dapat terjadi akibat penyakitnya, seperti :
a.
Laringospasme
( Spame otot faring ) yang menyebabkan terkumpulnya air liur (saripa) di dalam rongga mulut dan hal ini memungkinkan terjadinya aspirasi sehingga dapat
terjadi pneumonia aspirasi.
b.
Terapi
sederhana, seperti sedasi yang mengarah pada koma.
c.
Aspirasi
atau apnea, atau konsekuensi dari perawatan intensif, seperti pneumonia
berkaitan dengan ventilator.
2.1.9
proliferasi kuman clostridium
tetani seperti pada tulang terbuka dan lainnya. Penatalaksaan medis
1.
Pencegahan
:
·
Bersihkan
port d’entrée, dengan larutan H2O2 3%.
·
Antitetanus
serum (ATS) 1500 U/IM.
·
Toksoid
tetanus (TT), dengan memerhatikan status imunisasi.
·
Antimikroba
pada keadaan berisiko
2.
Pengobatan
:
a.
Antitetanus
serum (ATS).
-
Dewasa
50.000 U/hari, selama 2 hari berurut-turut, (hari I)diberikan dalam impus
glukosa 5 % 100 ml, (hari II) diberikan IM lakukan uji kulit sebelum pemberian.
-
Anak
20.000 U/hari, selama 2 hari. Pemberian secara drip infuse 40.000 U bias di
lakukan sekaligus melalui IV line.
-
Bayi
10.000 U/hari, selama 2 hari. Pemberian secara drip infuse 20.000 U bias di
lakukan sekaligus melewati IV line.
b.
Fenobarbital
: dosis initial 50 mg ( umur < 1 tahun ) : 75 mg, (umur > 1 tahun)
dilanjutkan 5 mg/kg BB/hari di bagi 6 dosis.
c.
Diazepam
dosis 4 mg/kg BB /hari di bagi dalam 6 dosis.
d.
Largactil
: dosis 4 mg/kg BB/hari.
e.
Antimikroba.
f.
Diet
tinggi kalori tinggi protein bila trismus di beri diet cair melalui NGT.
g.
Isolasi
penderita pada tempat yang tenang, kurangi rangsangan yang membuat kejang,
kolaborasi pemberian obat penenang.
h.
Debridement
luka, biarkan luka terbuka.
i.
Oksigen
2 l/menit.
2.2
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN TETANUS
2.2.1 PENGKAJIAN
a.
Anamnesis
Keluhan
utama yang sering menjadi alasan kien atau orang tua membawa anaknya untuk
meminta pertolongan kesehatan adalah panas badan tinggi, kejang, dan penurunan
tingkat kesadaran.
b.
Riwayat
penyakit saat ini
Faktor
riwayat penyakit sangat penting di ketahui karena untuk mengetahui predisposisi
penyebab sumber luka. Disini harus di tanya dengan jelas tentang gejala yang
timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh, atau bertambah buruk. Keluhan
kejang perlu mendapat perhatian untuk di lakukan pengkajian lebih mendalam,
bagaimana sifat timbulnya kejang, stimulus apa yang sering menimbulkan kejang,
dan tindakan apa yang telah di berikan dalam upaya menurunkan keluhan kejang
tersebut.
Adanya
penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran di hubungkan dengan toksin
tetanus yang mengimplamasi jaringan otak. Keluhan perubahan perilaku juga umum
terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsip,
dan koma.
c.
Riwayat
penyakit dahulu
Pengkajian
penyakit yang pernah di alami klien yang memungkinkan adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang
meliputi pernah kah klien mengalami tubuh terluka dan luka tusuk yang dalam
misalnya tertusuk paku, pecahan kaca, terkenaa kaleng, atau luka yang menjadi
kotor; karena terjatuh di tempat yang kotor dan terluka atau kecelakaan dan
timbul luka yang tertutup debu/kotoran juga luka bakar dan patah tulang
terbuka. Adakah porte d’entree lainnya seperti luka gores yang ringan kemudian
menjadi bernanah dan gigi berlubang di koreng dengan benda yang kotor.
d.
Pengkajian
psiko-sosio-spiritual
Pengkajian
mekanisme koping yang di gunakan klien juga penting untuk menilai respon emosi
klien terhadap penyakit yang di deritanya dan perubahan peran klien dalam
keluarga dan mesyarakat seerta respon atau pengaruh dalam kehidupan sehari hari
baik dalam keluarga atau masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien,
yaitu timbul ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidak mampuan untuk
melakukan aktifitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah
(gangguan citra tubuh). Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah
keadaan ini memberi dampak pada ststus ekonomi klien, karena biaya perawatan
dan pengobatan memerlukan dana yang tidak sedikit.
Pada
pengkajian pada klien anak perlu di perhatikan dampak hospitalisasi pada anak
dan family center. Anak dengan tetanus sangat rentan terhadap tindakan invasif
yang sering dilakukan untuk mengurangi keluhan, hal ini memberi dampak stress
pada anak dan menyababkan anak kurang kooperatif terhadap tindakan keperwatan
dan medis.
Pengkajian
psiko-sosial yang terbaik di laksanakan saat obsefasi anak anak bermain atau
selama berinteraksi dengan orang tua. Anak-anak sering kali tidak mampu
mengekspresikan perasaan mereka dan cenderum memperlihatkan masalah mereka
melalui tingkah laku.
e.
Pemeriksaan
fisik
Setelah
melakukan anamesis yang mengarah pada keluhan klien, pemriksaaan fisik sangat
berguna untuk mendukung dari pengkajian anamesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya
dilakukan persistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3
(Brain) yang terarah dan di hubungkan dengan keluhan keluhan dari klien.
Pada
klien tetanus biasanya di dapatkan peningkatan suhu tubuh lebih dari normal
38-40 0C. Keadaan ini biasanya dihubungkan dengan proses implamasi
dan toksin tetanus yang sudah mengganggu pusat pengatur suhu tubuh. Penurunan
denyut nadi terjadi berhubungan penurunan perfusi jaringan otak. Apabila
disertai peninhkatan frekuensi pernafasan sering berhubungan dengan peningkatan
laju metabilisme umum. TD biasanya normal.
1.
B1
(Breathing)
Inspeksi
apakah klien batuk, prodoksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot bantu nafas,
dan peningkatan frekuensi pernafasan yang sering didapatkan pada klien tetanus
yang disertai adanya ketidak efektifan bersihan jalan nafas. Palpasi thorak
didapatkan taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi nafas
tambahan seperti ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi sekret dan
kemampuan batuk yang meurun.
2.
B2
(Blood)
Pengkajian
pada sistem kardiovaskuler didapatkan syok hipovelemik yang sering terjadi pada
klien tetanus. TD biasnya normal, peningkatan heart rate, adanya anemis karena
adanya hancurnya eritrosit.
3.
B3
(brain)
Pengkajian B3 merupakan pemriksaan fokus
dan lebih lengkap di bandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
4.
Tingkat
kesadaran (GCS)
Kesadaran
klien biasanya kompos mentis. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien
tetanus mengalami penurunan pada tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa.
Apabila klien sudah mengalami koma maka penilaian GCS sangat penting untuk
menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk monitoring pemberian
asuhan.
5.
Fungsi
serebri
Status
mental: obsevasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara klien
dan observasi ekspresi wajah dan aktifitas motorik yang pada klien tetanus
tahap lanjut biasanya status mental klien mengalami perubahan.
6.
Pemeriksaan
saraf kranial
·
Saraf
I. Biasanya pada klien tetanus tidak ada kelainan dan fungsi penciuman tidak
ada kelainan.
·
Saraf
II. Tes ketajaman pengelihatan pada kondisi normal
·
Saraf
III,IV,VI. Dengan alasan yang tidak di ketahui, klien tetanus mengeluh
mengalami fotophobia atau sensitif yang berlebihan terhadap cahaya. Respons
kejang umum akibat stimulus rangsang cahaya perlu di perhatikan perawat untuk
memberikan intervensi menurunkan stimulus cahaya
tersebut.
·
Saraf
V. Refleks masester menigkat. Mulut mencucu seperti mulut ikan (ini adalah
gejala khas pada tetanus).
·
Saraf
VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris.
·
Saraf
VIII. Tidak di temukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
·
Saraf
IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran membuka mulut (trismus).
·
Saraf XI. Di dapatkan kaku kuduk. Ketegangan otot
rahang dan leher (mendadak)
·
Saraf
XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada pasikulasi.
Indra pengecapan normal.
·
System motorik
Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan
kordinasi pada tetanus tahap lanjut mengalami perubahan.
·
Pemeriksaan reflek
Pemeriksaan
reflek dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau periusteum derajat
reflek pada respon normal.
·
Gerakan involunter
Tidak
ditemukan adanya tremor, Tic dan distonia. Pada keadaan tertentu klien
mengalami kejang umum, terutama pada anak yang tetanus disertai peningkatan
suhu tubuh yang tinggi. Kejang berhubungan sekunder akibat area fokal kortikal
yang peka.
·
System sensori
Pemeriksaan
sensorik pada tetanus biasanya di dapatkan perasaan raba normal, perasaan nyeri
normal. Perasaan suhu normal. Tidak ada perasaan abnormal di permukaan tubuh.
Perasaan proprioseftif normal dan perasaan diskriminatif normal.
·
B
4 (BLADER)
Penurunan
volume haluaran urin berhubungan dengan penurunan perpusi dan penurunan curah
jantung ke ginjal. Adanya retensi urin karena kejang umum. Pada klien yang
sering kejang sebaiknya pengeluaran urine dengan menggunakan kateter.
·
B
5 (BOWEL )
Mual sampai
muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan nutrisi
pada klien tetanus menurun karena anoreksia dan adanya kejang, kaku dinding
perut (perut papan) merupakan tanda khas dari tetanus. Adanya spasme otot menyebabkan
kesulitan BAB.
·
B
6 (BONE)
Adanya kejang
umum sehingga mengganggu mobilitas klien dan menurunkan aktivitas sehari-hari.
Perlu dikaji apabila klien mengalami patah tulang terbuka yang memungkinkan por de entrée kuman Clostridium tetani , sehingga memerlukan perawatan luka yang
optimal. Adanya kejang memberikan resiko pada praktur pertibra pada bayi,
ketegangan, dan spasme otot pada abdomen.
f.
Pengelompokan
Data
1.
Data
subjektif
·
Pada pasien yang mengalami tetanus
mengatakan terasa nyeri dan sakit pada derah luka dan rahang, demam, tidak tahu
akan sakit yang sedang dialami, dan merasa lemas serta merasa panas meningkat.
2.
Data
objektif
·
Terjadinya peningkatan tekan darah
·
Nyeri pada otot
·
Terjadi peningkatan tonus otot
·
Biasanya pasien lemah
·
Tampak gelisah
·
Pergerakan terbatas
·
Dalam bergerak dibantu
·
Tampak pucat
·
Tampak lemah
·
Biasanya pasien gelisah
·
Biasanya pasien menahan nyeri
·
Nafsu makan berkurang
·
Kesadaran menurun
·
Nadi kuat dan cepat
·
Penurunan fungsi ginjal dengan nilai keratinin jauh dari
normal
·
Teraba perut teasa keras seperti papan
·
Mengatakan sakit pada daaerah rahang
·
Badan tampak kaku
2.2.2 Diagnosa Keperawatan
a.
Analisa Data
No
|
Symptom
|
Etiologi
|
Problem
|
1
|
DS :
-
Klien mengatakan terasa sakit ddan pega-pegal
sleuruh utbuh.
-
Klien mengatakan tidak bias atau sulit menelan
DO : - Sekresi pada mulut (++)
-
Posisi terlentang dengan tangan diikat
-
Pernafasan spontan dan ngorok
-
Pemeriksaan paru Rh -/-, wh -/-
-
RR 24 x/ menit
|
Invasi kuman ke otot bergaris
Otot pernafasan terserang/spasme lairng
Rangsangan air liur/sekresi ++
Kekakuan pada mulut dan lidah
Sulit menelan
Jalan nafas tidak efektif
(aspiksia)
Bersihan jalan nafas
|
Bersihan jalan napas tidak efektif
|
2
|
DS: -
DO:
-
Terjadi
peningkatan tonus otot
-
Pergerakan
terbatas
-
Teraba perut
terasa keras seperti papan
-
Badan
tanpak kaku
-
Terlihat
sering terjadi kejang otot
|
Kerusakan
Muskuluskletal dan neuromuscular
|
Kerusakan mobilitas fisik
|
3
|
DS:
DO:
-
Tampak
kejang-kejang
-
Tonus
otot tak terkendali
-
Terjadi
peningkatan tonus otot
|
Fungsi regulatori kimia
|
Resiko cedera
|
4
|
DS:
-
Klien
mengaku cemas dan gelisah
DO:
-
Tampak
cemas, gelisah dan murung
|
Perubahan dalam setatus
Kesehatan
|
Cemas
|
5
|
DS: -
DO:
-
Muka dan
dada berkeringan, suhu akral hangat
-
Suhu
tubuh 39,5oC, nadi 96 kali /menit takhikardia
-
Baju
terbuka
-
Lab.
Leukosit
|
Pembuluh darah/jaringan (neotopi , limposit )
Metabolisme
Hiperpireksia
|
Suhu tubuh
|
b.
Rumusan Diagnosa
Keperawatan
1. Bersihan
jalan napas tidak efektif berhubungan denagan invasi kuman ke otak bergaris
ditandai dengan klien mengatakan terasa sakit dan pegal-pegal seluruh tubuh,
klien mengatakan tidak
bias atau sulit menelan, sekresi pada mulut (++), posisi terlentang dengan tangan
diikat, pernafasan spontan dan agak ngorok, pemeriksaan paru Rh -/-, wh -/- , RR 24 x/menit
2. Kerusakan
mobilitas fisik berhubungan
dengan kerusakanmuskuluskletal dan neuromuscular ditandai dengan terjadi
peningkatan tonus otot ,
pergerakan terbatas, teraba
perut terasa keras seperti papan
,badan tanpak kaku
,terlihat sering terjadi kejang otot
3. Resiko
cedera berhubungan dengan fungsi
regulatori kimia ditandai dengan
tampak
kejang-kejang, tonus
otot tak terkendali ,terjadi
peningkatan tonus otot
4. Cemas berhubungan dengan perubahan
dalam setatus kesehatan di tandai
dengan klien mengaku cemas dan gelisah, tampak cemas, gelisah
dan murung
5. Suhu
tubuh meningkat berhubungan dengan pembuluh
darah/jaringan (neotopi menurun , limposit
meningkat, metabolisme tinggi, Hiperpireksia di tandai
dengan Muka dan dada berkeringan, suhu
akral hangat ,suhu
tubuh 39,5oC, nadi 96 kali /menit takhikardia, baju terbuka ,Lab. Leukosit
2.2.3
Rencana Intervensi
Tujuan
rencana intervensi secara umum adalah menghindari komplikasi akibat serangan
kejang, menjaga kepatenan jalan nafas, menurunkan panas tubuh, menurunkan
stimulus rangssang kejang, dan meningkatkan koping individu serta penurunan
tingkat kecemasan.
1.
Bersihan jalan napas tidak efektif yang berhubungan dengan adanya
secret dalam trakhrea, kemampuan batuk menurun.
|
|
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan
tindakan bersihan jalan napas kembali efektif.
Criteria hasil : secara subjektif sesak napas (-),
RR 16-20x/ menit. Tidak menggunakan otot bantu napas, retraksi ICS(-),
ronkhi(-/-), mengi(-/). Dapat mendemonstrasikan cara batuk efektif.
|
|
Intervensi
|
Rasionalisasi
|
Kaji fungsi paru, adanya bunyi napas tambahan,
perubahan irama dan kedalaman, penggunaan otot-otot aksesori, warna, dan
kekentalan sputum.
|
Membantu dan mengatasi komplikasi pontensial.
Pengkajian fungsi pernapasan dengan interval yang teratur adalah penting
karena pernapasan yang tidak efektif dan adanya kegagalan , karena adanya
kelemahan atau paralisa pada otot –otot interkostal dan diafragma yang
berkembang dengan cepat
|
Atur posisi fowler dan semifowler
|
Peninggian kepala tempat tidur memudahkan
pernapasan, meningkatkan ekspansi dada, dan meningkatkan batuk lebih efektif.
|
Ajarkan cara batuk efektif
|
Klien berada pada risiko tinggi bila tidak dapat
batuk efektif untuk membersihkan jalan napas dan mengalami kesulitan dalam
menelan, yang dapat menyebabkan aspirasi saliva, dan mencetuskan gagal napas
akut
|
Lakukan fisioterapi dada, vibrasi dada
|
Terapi fisik dada membantu meningkatkan batuk lebih
efektif.
|
Penuhi hidrasi cairan via oral seperti minum air
putih dan pertahankan intake cairan 2500 ml/hari
|
Pemenuhan cairan dapat mengencerkan mucus yang
kental dan dapat membantu pemenuhan cairan yang banyak keluar dari tubuh.
|
Lakukan pengisapan lendir di jalan napas
|
Pengisapan mungkin diperlukan untuk mempertahankan
kepateanan jalan napas menjadi bersihn
napas
|
Berikan oksigen sesuai klinis
|
Pemenuhan oksigen terutama pada klien tetanus dengan
laju metabolism yang tinggi.
|
2. Gangguan
mobilitas fisik yang berhubungan dengan adanya kejang berulang.
|
|
Tujuan : Tidak teerjadi kontraktir, footdrop, gangguan integritas
kulit, fungsi bowell dan bladder optimal serta peningkatan kemampuan fisik.
Kriteria hasil :Skala ketergantungan klien meningkat menjadi bantuan
minimal .
|
|
Intervensi
|
Rasionalisasi
|
Review kemampuan fisik dan kerusakan yang terjadi.
|
Mengidentifikasi k fungsi dan menentukan pilihan intervensi.
|
Kaji tingkat imobilisasi, gunakan skala tingkat ketergantungan.
|
Tingkat ketergantungan minimal care (hanya memerlukan bantuan
minimal), partial care(memerlukan bantuan sebagian), dan total care
(memerlukan bantuan total dari perawat dan klien yang memerlukan pengawasan
khusus karena resiko cedera yang tinggi).
|
Berikan perubhan posisi yang teratur pada klien,
|
Perubahan posisi teratur dapat mendistribusikan berat badan secara
menyeluruh dan memfasilitasi peredaran darah serta mencegah dekubitus..
|
Pertahankan body aligment adekuat, berikan latihan ROM pasif jika
klien sudah bebas panas dan kejang.
|
Mencegah terjadinya kontraktur
atau footdrop serta dapat mempercepat pengembalian fungsi tubuh nantinya.
|
Berikan perawatan kulit secara adekuat, lakukan masase, ganti pakaian
klien dengan bahan linen dan pertahankan tempat tidur dalam keadaan kering
|
Memfasilitasi sirkulasi dan mencegah gangguan integritas kulit.
|
Berikan perawatan mata, bersihkan mata dan tutup dengan kapas yang
basah sesekali.
|
Melindungi mata dari kerusakan akibat terbukanya mata terus menerus.
|
Kaji adanya nyeri, kemerahan, bengkak pada area kulit
|
Indikasi adanya kerusakan kulit dan deteksi dini adanya dekubitus pada
area lokal yang tertekan.
|
3. Resiko
cidera berhubungan dengan adanya kejang, perubahan status mental dan
penurunan tingkat kesadaran.
|
|
Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam perawatan klien bebas dari cidera
yangb disebabkan oleh kejang dan penurunan kesadaran .
Kriteria hasil : Klien tidak mengalami cedera apabila kejang berulang
ada.
|
|
Intervensi
|
Rasionalisasi
|
Monitor kejang pada tangan, kaki, mulut, dan otot – otot muka lainnya.
|
Gambaran tribalitas sistem syaraf
pusat memerlukan evaluasi yang sesuai dengan intervensi yang tepat
untuk mencegah terjadinya komplikasi
|
Persiapkan lingkungan yang aman seperti batasan ranjang, papan
pengaman, dan alat suction selalu berada dekat klien.
|
Melindungi klien bila kejang terjadi.
|
Pertahankan bedrest total selama fase akut
|
Mengurangi resiko jatuh/terluka jika vertigo, sincope, dan ataksia
terjadi.
|
Kolaborasi pemberian terapi : diazepam, Phenobarbital
|
Untuk mencegah atau mengurangi kejang
Catatan : Phenobarbital dapat menyebabkan respiratorius depresi dan
sedasi.
|
4.
Cemas yang berhubungan dengan prognosis penyakit, kemungkinan kejang berulang.
|
|
Tujuan : kecemasan hilang atau berkurang
kriteria hasil : mengenal perasaannya, dapat
mengidentifikaasi penyebab atau factor yang memengaruhinya, dan menyatakan
ansietas berkurang/hilang
|
|
Intervensi
|
Rasionalisasi
|
Kaji tanda verbal dan nonverbal kecemasan, damping
klien dan lakukan tindakan bila menunjukan perilaku merusak.
|
Reaksi verbal/nonverbal dapat menunjukan rasa
agitasi, marah, dan gelisah
|
Jelaskan sebab terjadinya kejang
|
Memberikan dasar konsep agar klien kooferatif
terhadap tindakan untuk mengurangi kejang
|
Hindari konfrontasi
|
Konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah ,
menurunkan kerja sama dan mungkin memperlambat penyembuhan
|
Mulai melakukan tindakan untuk mengurangi
kecemasan,. Beri lingkungan yang tenang dan suasana penuh istirahat
|
Mengurangi rangsangann eksternal yang tidak perlu
|
Tingkatkan control sensasi klien
|
Control sensasi klien (dan dalam menurunkan
ketakutan) dengan cara memberikan informasi tentang keadaan klien ,
menekankan pada penghargaan terhadap sumber-sumber koping(pertahanan diri),
yang positif, membantu latihan relaksasi dan teknik-teknik pengelihatan dan
memberikan respons balik yang positif.
|
Orientasikan klien terhadap prosedur rutin dan
aktivitas yang diharapakan.
|
Orientasi dapat menurunkan kecemasan.
|
Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan
aneletasnya
|
Dapat menghilangkan ketegangan terhadap kekhawatiran
yang tidak diekspresikan
|
Berikan privasi untuk klien dan orang terdekat
|
Memberikan waktu untuk mengekspresikan perasaan,
menghilangkan cemas, dan perilaku adaptasi. Adanya keluarga dan teman-teman
yang dipilih klien melayani aktivitas dan pengalihan (misalnya membaca) akan
menurunkan perasaan terisolasi.
|
5. Peningkatan suhu tubuh yang berhubungan dengan proses
inflamasi dan efek toksin di jaringan otak.
|
|
Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam perawatan suhu tubuh menurun
Kriteria hasil : Suhu tubuh normal 36 - 37°C
|
|
Intervensi
|
Rasionalisasi
|
Monitor suhu tubuh klien
|
Peningkatan suhu tubuh menjadi stimula rangsang kejang pada klien tetanus
|
Beri kompres dingin di kepala dan aksila
|
Memberikan respons dingin pada pusat pengatur panas dan pembuluh darah
besar
|
Pertahankan bedrest total selama fase akut
|
Mengurangi peningkatan proses metabolisme umum yang terjadi pada klien
tetanus
|
Kolaborasi pemberian terapi : ATS dan antimikroba
|
ATS dapat mengurangi dampak toksin tetanus di jaringan otak dan
antimikroba dapat mengurangi inflamasi sekunder dari toksin
|
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tetanus
adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh toksin kuman clostiridium tetani
yang dimanefestasikan dengan kejang otot secara proksimal dan diikuti kekakuan
seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu nampak pada otot masester dan
otot rangka
Tetanus
disebabkan neurotoksin (tetanospasmin) dari bakteri
Gram positif anaerob, Clostridium tetani, dengan mula-mula 1 hingga 2
minggu setelah inokulasi bentuk spora ke dalam darah tubuh yang mengalami
cedera (periode inkubasi). Penyakit ini merupakan 1 dari 4 penyakit penting
yang manifestasi klinis utamanya adalah hasil dari pengaruh kekuatan eksotoksin
(tetanus, gas ganggren, dipteri, botulisme).
Bakteri
Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran manusia dan hewan
peliharaan dan di daerah pertanian. Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa
berupa luka yang dalam yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal,
tertanamnya benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang
dangkal dan kecil atau luka geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari
tangan atau jari kaki yang berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada
pembedahan.
3.2
Saran
1. Bagi
Mahasiswa
Diharapkan
mahasiswa mengetahui penyebab
tetanus dan pencegahannya agar dapat terhindar dari infeksi tetanus baik untuk
dirinya sendiri maupun keluarga .
2. Bagi Masyarakat
Diharapkan
bagi masyarakat agar mampu menjaga kesehatannya
terutama jika ada luka tusuk, terkena paku, pecahan beling dan jatuh di tempat
yang kotor karena kecelakaan. Keadaan
tersebut harus segera di tangani langsung dengan membersihkan luka dengan Nhcl
agar luka mengurangi infeksi .
3. Bagi Institusi
Diharapkan
agar makalah ini menjadi refrensi untuk mendapat pengetahuan tentang bahayanya penyakit tetanus yang dapat menyebabkan kematian.
DAFTAR
PUSTAKA
Batticaca B. Fransisca, 2008, Asuhan
Keperawatan Dengan Gangguan sistem persyarafan,
Penerbit Salemba Medika.
Mutaqqin Arif, 2008, Asuhan Keperawatan Klien dengan
Gangguan Sistem Persyarafan,
Penerbit Salemba Medika.
Sudoyo W. Aru, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus, K.
Simadibarata Marellus, Setiati Siti,
2006, Buku Ilmu Penyakit Dalam, Penerbit
Departemen Ilmu Penyakit Dalam F.K
Universitas Indonesia.
Lynda Juall C, 1999, Rencana
Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, Penerjemah Monica
Ester, EGC, Jakarta