Rabu, 23 Januari 2013

ASKEP TETANUS


 BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman Clostridium tetani, bermanifestasi sebagai kejang otot paroksismal, diikuti kekakuan otot seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu tampak pada otot masseter dan otot-otot rangka.
Tetanus adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh toksin kuman clostiridium tetani yang dimanefestasikan dengan kejang otot secara proksimal dan diikuti kekakuan seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu nampak pada otot masester dan otot rangka.Tetanus adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh toksin kuman clostiridium tetani yang dimanefestasikan dengan kejang otot secara proksimal dan diikuti kekakuan seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu nampak pada otot masester dan otot rangka
Clostiridium tetani adalah kuman yang berbentuk batang seperti penabuh genderang berspora, golongan gram positif, hidup anaerob. Kuman ini mengeluarkan toksin yang bersifat neurotoksik (tetanus spasmin), yang mula-mula akan menyebabkan kejang otot dan saraf perifer setempat. Timbulnya teteanus ini terutama oleh clostiridium tetani yang didukung oleh adanya luka yang dalam dengan perawatan yang salah. Selain diluar tubuh manusia, tersebar luas ditanah. Juga terdapat di tempat yang kotor, besi berkarat samapai pada tusuk sate bekas. Basil ini bila kondisinya baik (di dalam tubuh manusia) akan mengeluarkan toksin. Toksin ini dapat menghancurkan sel darah merah, merusak leukosit, dan merupakan tetanospamin, yaitu toksin yang neutropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot.



1.2 Tujuan
1.      Tujuan Umum
Mahasiswa mampu membuat asuhan keperawatan  pada klien dengan ganguan tetanus
2.      Tujuan Khusus
1.      Mahasiswa mampu membuat pengkajian pada klien dengan gangguan tetanus.
2.      Mahasiswa mampu menegakkan diagnose pada klien dengan gangguan tetanus.
3.      Mahasiswa mampu mengimplementasi pada klien dengan gangguan tetanus.
4.      Mahasiswa mampu mengevaluasi pada klien dengan gangguan tetanus.

    1.3 Manfaat
1.      Bagi Mahasiswa
            Agar mahasiswa mengetahui penyakit tetanus yang disebabkan oleh organisme anaerob Clostiridium tatani yang berpoliferasi disebabkan keadaan  antara lain adalah luka tusuk dalam dan kotor serta belum terimunisasi, luka bakar karena lalu lintas, luka bakar, luka tembak, gigitan hewan/manusia, gigi berlubang, lesi pada mata, infeksi telinga, perawatan luka/tali pusar yang tidak baik. Sehingga perlu untuk menjaga supaya infeksi yang ada di bagian tubuh tersebut tidak berlanjut menyebabkan tetanus.Dan juga dapat dicegah  dengan membersihkan luka dengan H2O23%.Jika tidak ditangani secara cepat dapat menjadi kematian.
2.      Bagi Masyarakat
            Agar masyarakat mengetahui bagaimana proses terjadinya penyakit tetanus, dan masyarakat dapat mencegah terjadinya tetanus dengan mencegah terjadinya luka dengan infeksi piogenik dimana bakteri piogenik mengosumsi eksogen pada luka sehingga suasana menjadi anaerob yang pentingbagi tumbuhannya basil tetanus.
3.      Bagi insitusi
           Agar makalah ini menjadi refrensi untuk dapat menambah wawasan tentang bahayanya penyakit tetanus.

BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 LAPORAN PENDAHULUAN
2.1.1 Definisi Tetanus
Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh Clostridium tetani. Terdapat beberapa bentuk klinis tetanus termasuk di dalamnya tetanus neonatrum, tetanus generalist dan gangguan neurologis lokal.
2.1.2 Etiologi
Clostridium tetani merupakan basil berbentuk batang yang bersipat anaerob, membentuk sepora (tahan panas), gram positif, mengeluarkan eksotoksin yang bersipat neotoksin ( yang efeknya mengurangi aktivitas kendali SSP), patogenesis bersimbiosis dengan mikroorganisme piogenik (pyogenic).
Basil ini banyak ditemukan pada kotoran kuda, usus kuda, dan tanah yang di pupuk kotoran kuda. Penyakit tetanus banyak terdapat pada luka dalam, luka tusuk, luka dengan jaringan mati ( cprpus alienum ) karena merupakan kondisi yang baik untuk proliferasi kuman anaerob. Luka dengan infeksi piogenik dimana bakteri piogenik mengosumsi eksogen pada luka sehingga suasana menjadi  anaerob yang penting bagi tumbuhannya basil tetanus.
2.1.3  Patofisiologi dari Tetanus
Biasanya penyakit ini terjadi setelah luka tusuk yang dalam misalnya luka yang disebabkan tertusuk paku, pecahan kaca, kaleng atau luka tembak, karena luka tersebut menimbulkan keadaan anaerob yang ideal. Selain itu luka laserasi yang kotor dan pada bayi dapat melalui tali pusat luka bakar dan patah tulang yang terbuka juga akan mengakibatkan keadaan anaerob yang ideal untuk pertumbuhan clostridium tetani.
Tetanus terjadi sesudah pemasukan spora yang sedang tumbuh, memperbanyak diri dan mneghasilkan toksin tetanus pada potensial oksidasi-reduksi rendah (Eh) tempat jejas yang terinfeksi. Plasmid membawa gena toksin.Toksin yang dilepas bersama sel bakteri sel vegetative yang mati dan selanjutnya lisis.Toksin tetanus (dan toksin batolinium) di gabung oleh ikatan disulfit. Toksin tetanus melekat pada sambungan neuromuscular dan kemudian diendositosis oleh saraf motoris,sesudah ia mengalami ia mengalami pengangkutan akson retrograt kesitoplasminmotoneuron-alfa. Toksin keluar motoneuron dalam medulla spinalis dan selanjutnya masuk interneuron penghambat spinal. Dimana toksi ini menghalangi pelepasan neurotransmitter .toksin tetanus dengan demikian meblokade hambatan normal otot antagonis yang merupakan dasar gerakan yang disengaja yang di koordinasi, akibatnya otot yang terkena mempertahankan kontraksi maksimalnya, system saraf otonom juga dibuat tidak stabil pada tetanus.
Spora yang masuk dan berada dalam lingkungan anaerobic berubah menjadi bentuk vegetatif dan berkembang biak sambil menghasilkan toxin. Dalam jaringan yang anaerobic ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya tekanan oxigen jaringan akibat adanya nanah, nekrosis jaringan, garam kalsium yang dapat diionisasi.Secara intra axonal toxin disalurkan ke sel saraf (cel body) yang memakan waktu sesuai dengan panjang axonnya dan aktifitas serabutnya. Belum terdapat perubahan elektrik dan fungsi sel saraf walaupun toksin telah terkumpul dalam sel. Dalam sumsum belakang toksin menjalar dari sel saraf lower motorneuron ke lekuk sinaps dan diteruskan ke ujung presinaps dari spinal inhibitory neurin. Pada daerah inilah toksin menimbulkan gangguan pada inhibitory transmitter dan menimbulkan kekakuan.Masa inkubasi 2 hari sampai 2 bulan dan rata-rata 10 hari.















Suasana yang memungkinkan organisme anaerob Clostiridium tetani berpoliferasi disebabkan keadaan antara lain : luka tusuk dalam dan kotor serta belum terimunisasi, luka karena lalu lintas, luka bakar, luka tembak, gigitan hewan/manusia, gigi berlubang, lesi pada mata, infeksi telinga, tonsil, perawatan luka/tali pusar yang tidak baik.
2.1.5 Pathway

Clostiridium tetani mengeluarkan toksin, toksin diabsorpsi pada ujung saraf motorik dan melalui sumbu silindrik ke SSP
Dari susunan limfatik ke sirkulasi darah arteri dan masuk ke SSP
Toksin bersifat neurotoksik/tetanospasmin, tatanulisin, menghancrkan sel darah merah , merusak leukosit

Kesulitan membuka mulut (tismus), kaku kuduk (epistotonus), kaku dinding perut (perut kanan), dan belakang tulang belakang
Kejang tonik umum, kejang rangsang (terhadap visual, suara, dan taktil), kejang spontan, kejang pada abdomen, dan retensi urine
Sulit menelan/menyusui
Perubahan Fisiologis intrakranial
Penekanan area fokal kortikal
Intake nutrisi tidak adekuat
3. Perubahan Nutrisi kurang dari kebutuhan
Perubahan mobilitas fisik
Penurunan kemampuan batuk
6. Gangguan mobilitas fisik

1. Bersihan jalan napas tidak efektif
Peningkatan permeabilitas darah / otak.
Proses inflamasi di jaringan otak (peningkatan suhu tubuh), perubahan tingkat kesadaran, perubahan frekuensi nadi
Peningkatan sekret dan penurunan kemampuan batuk
2. Peningkatan Suhu Tubuh
Penurunan tingkat kesadaran, penurunan perfusi jaringan otak
Koma
7. Kecemasan
4. resiko tinggi kejang berulang
5 resiko tinggi trauma/cidera
 
















Sumber : Patofisiologi tetanus ke masalah perawatan (dimodifikasi dari berbagai sumber)

2.1.6 Manifestasi Klinis
a.       Masa inkubasi clostridium tetani adalah 4-21 hari. Semakin lama masa inkubasi, maka prognosisnya semakin baik. Masa inkubasi tergantung dari jumlah bakteri, Virulensi, dan jarak tempat masuknya kuman (portd’entre) dengan SSP. Semakin dekat luka dengan SSP maka prognosisnya akan semakin serius dan semakin jelek. Misalnya, luka di telapak kaki dan leher bila sama-sama terserang basil tetanus, yang lebih baik prognosisnya adalah luka yang di kaki.
b.      Timbulnya gejala biasanya mendadak, di dahului dengan ketegangan otot terutama pada rahang dan leher.
c.       Sulit membuka mulut (trismus).
d.      Kaku duduk.
e.       Badan kaku dengan epistotonus, tungkai dalam mengalami ekstensi, lengan kuku, dan mengepal.
f.       Kejang tonik.
g.       Kesadaran biasanya tetap baik.
h.      Asfisia dan sianosis akibat kontraksi otot, retensi urine bahkan dapat menjadi fraktur kolumna vertebralis (pada anak) akibat kontraksi otot yang sangat kuat.
i.        Demam ringan (biasanya pada stadium akhir).

2.1.7  Pemeriksaan diagnostic
a. Pemeriksaan Laboratorium : leukositosis ringan, peninggian tekanan cairan otak, deteksi kuman sulit.
            2.1.8 Komplikasi
Komplikasi tetanus dapat terjadi akibat penyakitnya, seperti :
a.       Laringospasme ( Spame otot faring ) yang menyebabkan terkumpulnya air liur (saripa) di dalam rongga mulut dan hal ini memungkinkan terjadinya aspirasi sehingga dapat terjadi pneumonia aspirasi.
b.      Terapi sederhana, seperti sedasi yang mengarah pada koma.
c.       Aspirasi atau apnea, atau konsekuensi dari perawatan intensif, seperti pneumonia berkaitan dengan ventilator.
2.1.9
proliferasi kuman clostridium tetani seperti pada tulang terbuka dan lainnya. Penatalaksaan medis
1.      Pencegahan : 
·         Bersihkan port d’entrée, dengan larutan H2O2 3%.
·         Antitetanus serum (ATS) 1500 U/IM.
·         Toksoid tetanus (TT), dengan memerhatikan status imunisasi.
·         Antimikroba pada keadaan berisiko

2.      Pengobatan :
a.       Antitetanus serum (ATS).
-          Dewasa 50.000 U/hari, selama 2 hari berurut-turut, (hari I)diberikan dalam impus glukosa 5 % 100 ml, (hari II) diberikan IM lakukan uji kulit sebelum pemberian.
-          Anak 20.000 U/hari, selama 2 hari. Pemberian secara drip infuse 40.000 U bias di lakukan sekaligus melalui IV line.
-          Bayi 10.000 U/hari, selama 2 hari. Pemberian secara drip infuse 20.000 U bias di lakukan sekaligus melewati IV line.
b.      Fenobarbital : dosis initial 50 mg ( umur < 1 tahun ) : 75 mg, (umur > 1 tahun) dilanjutkan 5 mg/kg BB/hari di bagi 6 dosis.
c.       Diazepam dosis 4 mg/kg BB /hari di bagi dalam 6 dosis.
d.      Largactil : dosis 4 mg/kg BB/hari.
e.       Antimikroba.
f.       Diet tinggi kalori tinggi protein bila trismus di beri diet cair melalui NGT.
g.       Isolasi penderita pada tempat yang tenang, kurangi rangsangan yang membuat kejang, kolaborasi pemberian obat penenang.
h.      Debridement luka, biarkan luka terbuka.
i.        Oksigen 2 l/menit.






2.2 ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN TETANUS
2.2.1 PENGKAJIAN
a.       Anamnesis
Keluhan utama yang sering menjadi alasan kien atau orang tua membawa anaknya untuk meminta pertolongan kesehatan adalah panas badan tinggi, kejang, dan penurunan tingkat kesadaran.
b.      Riwayat penyakit saat ini
Faktor riwayat penyakit sangat penting di ketahui karena untuk mengetahui predisposisi penyebab sumber luka. Disini harus di tanya dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh, atau bertambah buruk. Keluhan kejang perlu mendapat perhatian untuk di lakukan pengkajian lebih mendalam, bagaimana sifat timbulnya kejang, stimulus apa yang sering menimbulkan kejang, dan tindakan apa yang telah di berikan dalam upaya menurunkan keluhan kejang tersebut.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran di hubungkan dengan toksin tetanus yang mengimplamasi jaringan otak. Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsip, dan koma.
c.       Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah di alami klien yang memungkinkan adanya hubungan atau  menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernah kah klien mengalami tubuh terluka dan luka tusuk yang dalam misalnya tertusuk paku, pecahan kaca, terkenaa kaleng, atau luka yang menjadi kotor; karena terjatuh di tempat yang kotor dan terluka atau kecelakaan dan timbul luka yang tertutup debu/kotoran juga luka bakar dan patah tulang terbuka. Adakah porte d’entree lainnya seperti luka gores yang ringan kemudian menjadi bernanah dan gigi berlubang di koreng dengan benda yang kotor.
d.      Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang di gunakan klien juga penting untuk menilai respon emosi klien terhadap penyakit yang di deritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan mesyarakat seerta respon atau pengaruh dalam kehidupan sehari hari baik dalam keluarga atau masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidak mampuan untuk melakukan aktifitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh). Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini memberi dampak pada ststus ekonomi klien, karena biaya perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang tidak sedikit.
Pada pengkajian pada klien anak perlu di perhatikan dampak hospitalisasi pada anak dan family center. Anak dengan tetanus sangat rentan terhadap tindakan invasif yang sering dilakukan untuk mengurangi keluhan, hal ini memberi dampak stress pada anak dan menyababkan anak kurang kooperatif terhadap tindakan keperwatan dan medis.
Pengkajian psiko-sosial yang terbaik di laksanakan saat obsefasi anak anak bermain atau selama berinteraksi dengan orang tua. Anak-anak sering kali tidak mampu mengekspresikan perasaan mereka dan cenderum memperlihatkan masalah mereka melalui tingkah laku.
e.       Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamesis yang mengarah pada keluhan klien, pemriksaaan fisik sangat berguna untuk mendukung dari pengkajian anamesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan di hubungkan dengan keluhan keluhan dari klien.
Pada klien tetanus biasanya di dapatkan peningkatan suhu tubuh lebih dari normal 38-40 0C. Keadaan ini biasanya dihubungkan dengan proses implamasi dan toksin tetanus yang sudah mengganggu pusat pengatur suhu tubuh. Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan penurunan perfusi jaringan otak. Apabila disertai peninhkatan frekuensi pernafasan sering berhubungan dengan peningkatan laju metabilisme umum. TD biasanya normal.

1.      B1 (Breathing)
Inspeksi apakah klien batuk, prodoksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot bantu nafas, dan peningkatan frekuensi pernafasan yang sering didapatkan pada klien tetanus yang disertai adanya ketidak efektifan bersihan jalan nafas. Palpasi thorak didapatkan taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi nafas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang meurun.
2.      B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan syok hipovelemik yang sering terjadi pada klien tetanus. TD biasnya normal, peningkatan heart rate, adanya anemis karena adanya hancurnya eritrosit.
3.      B3 (brain)
     Pengkajian B3 merupakan pemriksaan fokus dan lebih lengkap di bandingkan pengkajian pada sistem lainnya.

4.      Tingkat kesadaran (GCS)
Kesadaran klien biasanya kompos mentis. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien tetanus mengalami penurunan pada tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa. Apabila klien sudah mengalami koma maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk monitoring pemberian asuhan.
5.      Fungsi serebri
Status mental: obsevasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara klien dan observasi ekspresi wajah dan aktifitas motorik yang pada klien tetanus tahap lanjut biasanya status mental klien mengalami perubahan.
6.      Pemeriksaan saraf kranial
·         Saraf I. Biasanya pada klien tetanus tidak ada kelainan dan fungsi penciuman tidak ada kelainan.
·         Saraf II. Tes ketajaman pengelihatan pada kondisi normal
·         Saraf III,IV,VI. Dengan alasan yang tidak di ketahui, klien tetanus mengeluh mengalami fotophobia atau sensitif yang berlebihan terhadap cahaya. Respons kejang umum akibat stimulus rangsang cahaya perlu di perhatikan perawat untuk memberikan intervensi menurunkan stimulus        cahaya tersebut.
·         Saraf V. Refleks masester menigkat. Mulut mencucu seperti mulut ikan (ini adalah gejala khas pada tetanus).
·         Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris.
·         Saraf VIII. Tidak di temukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
·         Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran membuka mulut (trismus).
·         Saraf  XI. Di dapatkan kaku kuduk. Ketegangan otot rahang dan leher (mendadak)
·         Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada pasikulasi. Indra pengecapan normal.
·         System motorik
Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan kordinasi pada tetanus tahap lanjut mengalami perubahan.

·         Pemeriksaan reflek
                                    Pemeriksaan reflek dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau periusteum derajat reflek pada respon normal.
·         Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, Tic dan distonia. Pada keadaan tertentu klien mengalami kejang umum, terutama pada anak yang tetanus disertai peningkatan suhu tubuh yang tinggi. Kejang berhubungan sekunder akibat area fokal kortikal yang peka.
·         System sensori
Pemeriksaan sensorik pada tetanus biasanya di dapatkan perasaan raba normal, perasaan nyeri normal. Perasaan suhu normal. Tidak ada perasaan abnormal di permukaan tubuh. Perasaan proprioseftif normal dan perasaan diskriminatif normal.
·         B 4 (BLADER)
Penurunan volume haluaran urin berhubungan dengan penurunan perpusi dan penurunan curah jantung ke ginjal. Adanya retensi urin karena kejang umum. Pada klien yang sering kejang sebaiknya pengeluaran urine dengan menggunakan kateter.
·         B 5 (BOWEL )
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien tetanus menurun karena anoreksia dan adanya kejang, kaku dinding perut (perut papan) merupakan tanda khas dari tetanus. Adanya spasme otot menyebabkan kesulitan BAB.
·         B 6 (BONE)
Adanya kejang umum sehingga mengganggu mobilitas klien dan menurunkan aktivitas sehari-hari. Perlu dikaji apabila klien mengalami patah tulang terbuka yang memungkinkan por de entrée kuman Clostridium tetani , sehingga memerlukan perawatan luka yang optimal. Adanya kejang memberikan resiko pada praktur pertibra pada bayi, ketegangan, dan spasme otot pada abdomen.





f.       Pengelompokan Data
1.      Data subjektif
·         Pada pasien yang mengalami tetanus mengatakan terasa nyeri dan sakit pada derah luka dan rahang, demam, tidak tahu akan sakit yang sedang dialami, dan merasa lemas serta merasa panas meningkat.
2.      Data objektif
·         Terjadinya peningkatan tekan darah
·         Nyeri pada otot
·         Terjadi peningkatan tonus otot
·         Biasanya pasien lemah
·         Tampak gelisah
·         Pergerakan terbatas
·         Dalam bergerak dibantu
·         Tampak pucat
·         Tampak lemah
·         Biasanya pasien gelisah
·         Biasanya pasien menahan nyeri
·         Nafsu makan berkurang
·         Kesadaran menurun
·         Nadi kuat dan cepat
·         Penurunan fungsi ginjal dengan nilai keratinin jauh dari normal
·         Teraba perut teasa keras seperti papan
·         Mengatakan sakit pada daaerah rahang
·         Badan tampak kaku









2.2.2  Diagnosa Keperawatan
a.       Analisa Data

No
Symptom
Etiologi
Problem
1
DS :
-          Klien mengatakan terasa sakit ddan pega-pegal sleuruh utbuh.
-          Klien mengatakan tidak bias atau sulit menelan
DO : - Sekresi pada mulut (++)
-          Posisi terlentang dengan tangan diikat
-          Pernafasan spontan dan ngorok
-          Pemeriksaan paru Rh -/-, wh -/-
-          RR 24 x/ menit


Invasi kuman ke otot bergaris


Otot pernafasan terserang/spasme lairng


Rangsangan air liur/sekresi ++



Kekakuan pada mulut dan lidah
Sulit menelan


Jalan nafas tidak efektif
(aspiksia)


Bersihan jalan nafas




Bersihan jalan napas tidak efektif
2
DS: -
DO:
-          Terjadi peningkatan tonus otot
-          Pergerakan terbatas
-          Teraba perut terasa keras seperti papan
-          Badan tanpak kaku
-          Terlihat sering terjadi kejang otot


Kerusakan

Muskuluskletal dan neuromuscular


Kerusakan mobilitas fisik
3
DS:
DO:
-          Tampak kejang-kejang
-          Tonus otot tak terkendali
-          Terjadi peningkatan tonus otot


Fungsi regulatori kimia


Resiko cedera
4
DS:
-          Klien mengaku cemas dan gelisah
DO:
-          Tampak cemas, gelisah dan murung

Perubahan dalam setatus
Kesehatan





Cemas











5
DS: -
DO:
-          Muka dan dada berkeringan, suhu akral hangat
-          Suhu tubuh 39,5oC, nadi 96 kali /menit takhikardia
-          Baju terbuka
-          Lab. Leukosit

Pembuluh darah/jaringan (neotopi   , limposit    )



Metabolisme


Hiperpireksia

Suhu tubuh

b.      Rumusan Diagnosa  Keperawatan
1.      Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan denagan invasi kuman ke otak bergaris ditandai dengan klien mengatakan terasa sakit dan pegal-pegal seluruh tubuh, klien mengatakan tidak bias atau sulit menelan, sekresi pada mulut (++), posisi terlentang dengan tangan diikat, pernafasan spontan dan agak ngorok, pemeriksaan paru Rh -/-, wh -/- , RR 24 x/menit
2.      Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakanmuskuluskletal dan neuromuscular ditandai dengan terjadi peningkatan tonus otot , pergerakan terbatas, teraba perut terasa keras seperti papan ,badan tanpak kaku ,terlihat sering terjadi kejang otot
3.      Resiko cedera berhubungan dengan fungsi regulatori kimia ditandai dengan tampak kejang-kejang, tonus otot tak terkendali ,terjadi peningkatan tonus otot
4.      Cemas berhubungan dengan perubahan dalam setatus kesehatan di tandai dengan klien mengaku cemas dan gelisah, tampak cemas, gelisah dan murung
5.      Suhu tubuh meningkat berhubungan dengan pembuluh darah/jaringan (neotopi menurun  , limposit meningkat,  metabolisme tinggi,  Hiperpireksia di tandai dengan Muka dan dada berkeringan, suhu akral hangat ,suhu tubuh 39,5oC, nadi 96 kali /menit takhikardia, baju terbuka ,Lab. Leukosit
2.2.3 Rencana Intervensi
            Tujuan rencana intervensi secara umum adalah menghindari komplikasi akibat serangan kejang, menjaga kepatenan jalan nafas, menurunkan panas tubuh, menurunkan stimulus rangssang kejang, dan meningkatkan koping individu serta penurunan tingkat kecemasan.
1. Bersihan jalan napas tidak efektif yang berhubungan dengan adanya secret dalam trakhrea, kemampuan batuk menurun.
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan tindakan bersihan jalan napas kembali efektif.
Criteria hasil : secara subjektif sesak napas (-), RR 16-20x/ menit. Tidak menggunakan otot bantu napas, retraksi ICS(-), ronkhi(-/-), mengi(-/). Dapat mendemonstrasikan cara batuk efektif.
Intervensi
Rasionalisasi
Kaji fungsi paru, adanya bunyi napas tambahan, perubahan irama dan kedalaman, penggunaan otot-otot aksesori, warna, dan kekentalan sputum.
Membantu dan mengatasi komplikasi pontensial. Pengkajian fungsi pernapasan dengan interval yang teratur adalah penting karena pernapasan yang tidak efektif dan adanya kegagalan , karena adanya kelemahan atau paralisa pada otot –otot interkostal dan diafragma yang berkembang dengan cepat

Atur posisi fowler dan semifowler
Peninggian kepala tempat tidur memudahkan pernapasan, meningkatkan ekspansi dada, dan meningkatkan batuk lebih efektif.
Ajarkan cara batuk efektif
Klien berada pada risiko tinggi bila tidak dapat batuk efektif untuk membersihkan jalan napas dan mengalami kesulitan dalam menelan, yang dapat menyebabkan aspirasi saliva, dan mencetuskan gagal napas akut
Lakukan fisioterapi dada, vibrasi dada
Terapi fisik dada membantu meningkatkan batuk lebih efektif.
Penuhi hidrasi cairan via oral seperti minum air putih dan pertahankan intake cairan 2500 ml/hari
Pemenuhan cairan dapat mengencerkan mucus yang kental dan dapat membantu pemenuhan cairan yang banyak keluar dari tubuh.
Lakukan pengisapan lendir di  jalan napas
Pengisapan mungkin diperlukan untuk mempertahankan kepateanan jalan napas menjadi bersihn  napas
Berikan oksigen sesuai klinis

Pemenuhan oksigen terutama pada klien tetanus dengan laju metabolism yang tinggi.

2. Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan adanya kejang berulang.
Tujuan : Tidak teerjadi kontraktir, footdrop, gangguan integritas kulit, fungsi bowell dan bladder optimal serta peningkatan kemampuan fisik.
Kriteria hasil :Skala ketergantungan klien meningkat menjadi bantuan minimal .
Intervensi
Rasionalisasi
Review kemampuan fisik dan kerusakan yang terjadi.
Mengidentifikasi k fungsi dan menentukan pilihan intervensi.
Kaji tingkat imobilisasi, gunakan skala tingkat ketergantungan.
Tingkat ketergantungan minimal care (hanya memerlukan bantuan minimal), partial care(memerlukan bantuan sebagian), dan total care (memerlukan bantuan total dari perawat dan klien yang memerlukan pengawasan khusus karena resiko cedera yang tinggi).
Berikan perubhan posisi yang teratur pada klien,
Perubahan posisi teratur dapat mendistribusikan berat badan secara menyeluruh dan memfasilitasi peredaran darah serta mencegah dekubitus..
Pertahankan body aligment adekuat, berikan latihan ROM pasif jika klien sudah bebas panas dan kejang.
 Mencegah terjadinya kontraktur atau footdrop serta dapat mempercepat pengembalian fungsi tubuh nantinya.
Berikan perawatan kulit secara adekuat, lakukan masase, ganti pakaian klien dengan bahan linen dan pertahankan tempat tidur  dalam keadaan kering
Memfasilitasi sirkulasi dan mencegah gangguan integritas kulit.
Berikan perawatan mata, bersihkan mata dan tutup dengan kapas yang basah sesekali.
Melindungi mata dari kerusakan akibat terbukanya mata terus menerus.
Kaji adanya nyeri, kemerahan, bengkak pada  area kulit
Indikasi adanya kerusakan kulit dan deteksi dini adanya dekubitus pada area lokal yang tertekan.

3. Resiko cidera berhubungan dengan adanya kejang, perubahan status mental dan penurunan tingkat kesadaran.
Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam perawatan klien bebas dari cidera yangb disebabkan oleh kejang dan penurunan kesadaran .
Kriteria hasil : Klien tidak mengalami cedera apabila kejang berulang ada.
Intervensi
Rasionalisasi
Monitor kejang pada tangan, kaki, mulut, dan otot – otot muka lainnya.
Gambaran tribalitas sistem syaraf  pusat memerlukan evaluasi yang sesuai dengan intervensi yang tepat untuk mencegah terjadinya komplikasi
Persiapkan lingkungan yang aman seperti batasan ranjang, papan pengaman, dan alat suction selalu berada dekat klien.
Melindungi klien bila kejang terjadi.
Pertahankan bedrest total selama fase akut
Mengurangi resiko jatuh/terluka jika vertigo, sincope, dan ataksia terjadi.
Kolaborasi pemberian terapi : diazepam, Phenobarbital
Untuk mencegah atau mengurangi kejang
Catatan : Phenobarbital dapat menyebabkan respiratorius depresi dan sedasi.

4. Cemas yang berhubungan dengan prognosis penyakit, kemungkinan  kejang berulang.
Tujuan : kecemasan hilang atau berkurang
kriteria hasil : mengenal perasaannya, dapat mengidentifikaasi penyebab atau factor yang memengaruhinya, dan menyatakan ansietas berkurang/hilang
Intervensi
Rasionalisasi
Kaji tanda verbal dan nonverbal kecemasan, damping klien dan lakukan tindakan bila menunjukan perilaku merusak.
Reaksi verbal/nonverbal dapat menunjukan rasa agitasi, marah, dan gelisah
Jelaskan sebab terjadinya kejang
Memberikan dasar konsep agar klien kooferatif terhadap tindakan untuk mengurangi kejang
Hindari konfrontasi
Konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah , menurunkan kerja sama dan mungkin memperlambat penyembuhan
Mulai melakukan tindakan untuk mengurangi kecemasan,. Beri lingkungan yang tenang dan suasana penuh istirahat
Mengurangi rangsangann eksternal yang tidak perlu

Tingkatkan control sensasi klien
Control sensasi klien (dan dalam menurunkan ketakutan) dengan cara memberikan informasi tentang keadaan klien , menekankan pada penghargaan terhadap sumber-sumber koping(pertahanan diri), yang positif, membantu latihan relaksasi dan teknik-teknik pengelihatan dan memberikan respons balik yang positif.
Orientasikan klien terhadap prosedur rutin dan aktivitas yang diharapakan.
Orientasi dapat menurunkan kecemasan.
Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan aneletasnya
Dapat menghilangkan ketegangan terhadap kekhawatiran yang tidak diekspresikan
Berikan privasi untuk klien dan orang terdekat
Memberikan waktu untuk mengekspresikan perasaan, menghilangkan cemas, dan perilaku adaptasi. Adanya keluarga dan teman-teman yang dipilih klien melayani aktivitas dan pengalihan (misalnya membaca) akan menurunkan perasaan terisolasi.

5. Peningkatan  suhu tubuh yang berhubungan dengan proses inflamasi dan efek toksin di jaringan otak.
Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam perawatan suhu tubuh menurun
Kriteria hasil : Suhu tubuh normal 36 - 37°C
Intervensi
Rasionalisasi
Monitor suhu tubuh klien
Peningkatan suhu tubuh menjadi stimula rangsang kejang  pada klien tetanus
Beri kompres dingin di kepala dan aksila
Memberikan respons dingin pada pusat pengatur panas dan pembuluh darah besar
Pertahankan bedrest total selama fase akut
Mengurangi peningkatan proses metabolisme umum yang terjadi pada klien tetanus
Kolaborasi pemberian terapi : ATS dan antimikroba
ATS dapat mengurangi dampak toksin tetanus di jaringan otak dan antimikroba dapat mengurangi inflamasi sekunder dari toksin






BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tetanus adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh toksin kuman clostiridium tetani yang dimanefestasikan dengan kejang otot secara proksimal dan diikuti kekakuan seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu nampak pada otot masester dan otot rangka
Tetanus disebabkan neurotoksin (tetanospasmin) dari bakteri Gram positif anaerob, Clostridium tetani, dengan mula-mula 1 hingga 2 minggu setelah inokulasi bentuk spora ke dalam darah tubuh yang mengalami cedera (periode inkubasi). Penyakit ini merupakan 1 dari 4 penyakit penting yang manifestasi klinis utamanya adalah hasil dari pengaruh kekuatan eksotoksin (tetanus, gas ganggren, dipteri, botulisme).
Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran manusia dan hewan peliharaan dan di daerah pertanian. Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan.
3.2  Saran
1.      Bagi Mahasiswa
Diharapkan mahasiswa mengetahui penyebab tetanus dan pencegahannya agar dapat terhindar dari infeksi tetanus baik untuk dirinya sendiri maupun keluarga .
2.       Bagi Masyarakat
Diharapkan bagi masyarakat agar mampu menjaga kesehatannya terutama jika ada luka tusuk, terkena paku, pecahan beling dan jatuh di tempat yang kotor karena kecelakaan.  Keadaan tersebut harus segera di tangani langsung dengan membersihkan luka dengan Nhcl agar luka mengurangi infeksi .
3.       Bagi Institusi
Diharapkan agar makalah ini menjadi refrensi untuk mendapat pengetahuan tentang bahayanya penyakit tetanus yang dapat menyebabkan kematian.




DAFTAR PUSTAKA
Batticaca B. Fransisca, 2008, Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan sistem persyarafan, 
              Penerbit Salemba Medika.
Mutaqqin Arif, 2008, Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persyarafan,
              Penerbit Salemba Medika.
Sudoyo W. Aru, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus, K. Simadibarata Marellus, Setiati Siti,
     2006, Buku Ilmu Penyakit Dalam, Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam F.K
     Universitas Indonesia.
Lynda Juall C, 1999, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, Penerjemah Monica      
           Ester, EGC, Jakarta